“Jika dilakukan sekali, dua
kali, atau tiga kali, kamikaze bisa menjadi serangan pengejut. Tetapi,
jika dilakukan sampai sepuluh bulan, Kaisar Hirohito harus
menghentikannya…”
Tidak
ada pengorbanan yang lebih tinggi dari seseorang yang menyerahkan
nyawanya untuk sebuah perjuangan. Apakah itu perjuangan untuk keluarga,
sahabat, atau negaranya. Dalam sejarah peperangan di sejumlah negara,
kita tentu sering mendengar tentang pengorbanan jenis ini. Namun,
sepanjang sejarah peradaban manusia, tampaknya tak ada yang seradikal
seperti yang dilakukan pilot-pilot muda Jepang.
Jika pengorbanan nyawa yang terjadi di sejumlah negara hanya
dilakukan seorang atau sekelompok pejuang dalam keadaan terdesak; dalam
sejarah peperangan Jepang di Pasifik (1944), mereka siap mengorbankan
nyawa dalam unit-unit khusus yang telah dipersiapkan dengan taktik
menabrakkan pesawat yang mereka kemudikan ke kapal-kapal perang Amerika.
Jepang menjuluki serangan yang tak biasa ini sebagai kamikaze atau yang
dalam bahasa mereka berarti Angin Dewa.
Pasukan kamikaze bernama Tokkotai ini sejatinya dibentuk oleh
Laksamana Madya Tokijiro Ohnisi, Panglima Armada Udara Pertama yang
membawahi seluruh kekuatan udara Jepang di Filipina. Ia mengaku mendapat
perintah dan kepercayaan dari Markas Besar Kekaisaran Jepang
untuk mendukung Armada Kedua Jepang yang akan memukul mundur kekuatan Amerika. Kekuatan Amerika harus diberi “perlakuan khusus” karena telah menjebol garis pertahanan utama Jepang di Pasifik, yakni di Nugini dan Kepulauan Mariana.
untuk mendukung Armada Kedua Jepang yang akan memukul mundur kekuatan Amerika. Kekuatan Amerika harus diberi “perlakuan khusus” karena telah menjebol garis pertahanan utama Jepang di Pasifik, yakni di Nugini dan Kepulauan Mariana.
Kesatuan udara kamikaze ,bentukan Ohnisi akan lebih dulu menghantam
armada kapal induk Amerika agar kekuatan udara AL AS tak mengganggu
serangan armada laut Jepang. Pertempuran yang akan menentukan posisi
Jepang di Asia Pasifik ini akan digelar di Formosa (kini Taiwan),
Kepulauan Ryukyu dan tanah Jepang. Operasi militer yang dimulai 18
Oktober 1944 ini sendiri diberi nama Sho, yang artinya adalah
kemenangan.
Sho benar-benar memukau. Tentara AS amat terkesima menyaksikan
serangan nekad yang sulit dinalar ini. Bagaimana tidak? Para pilot muda
kamikaze itu dengan beraninya menukik untuk kemudian menabrakkan
pesawat-pesawat mereka ke kapal-kapal perang AS. Setiap pesawat
rata-rata membawa bom seberat 250 kg. Pasukan kamikaze juga “men- girim”
bom-bom terbang yang dikendalikan pilot. Menurut Ohnisi, hanya dengan
cara inilah efektivitas kekuatan udara negerinya akan ada pada tingkat
maksimal.
Kamikaze pertama dilakukan oleh Laksamana Madya Masafumi Arima,
komandan Armada Udara ke-26 pada 15 Oktober 1944. Tatkala memimpin 100
pembom tukik Yokosuka D4Y, is tiba-tiba menukikkan pesawatnya ke arah
kapal induk USS Franklin. Kapal itu pun hancur. Pangkat Arima kemudian
dinaikkan setingkat menjadi Laksamana.
Hingga kini, seberapa besar jumlah kapal perang yang berhasil
dihancurkan pasukan kamikaze masih menjadi perdebatan sejumlah pihak.
Menurut catatan AU AS, Jepang setidaknya telah melancarkan 2.800
serangan kamikaze dan menenggelamkan 34 kapal perang. Kamikaze juga
telah merusak 368 kapal, membunuh 4.900 pelaut, serta melukai 4.800
orang lainnya.
Meski sudah melawan matimatian, Jepang toh tak bisa menepis
kekalahan. Born atom yang dijatuhkan AS di Hiroshima dan Nagasaki pada 6
dan 9 Agustus 1945 benar-benar mengandaskan ambisi Jepang yang ngin
menguasai Asia Pasifik. Rakyat Indonesia sendiri tak akan pernah
melupakan kekejaman Jepang yang selalu ingin disebut Pemimpin Asia,
Pelindung Asia dan Cahaya Asia itu.
Sukar dinalar Kekalahan, dalam tradisi dan kebudayaan Jepang,
ternyata merupakan fakta yang amat memalukan. Secara turun temurun orang
Jepang seperti sudah mewarisi watak untuk pantang menerima kekalahan.
Dalam pekerjaan dan cita-cita, mereka akan berusaha merengkuhnya dengan
gigih. Sementara dalam bertempur, mereka akan berusaha menundukkan
musuh-musuhnya hingga titik darah terakhir.
Pada saat yang sangat kritikal, tentara Jepang kerap dirasuki
semangat Bushido: loyal dan menjunjung tinggi kehormatan sampai mati.
Inilah yang luar biasa dan tak dimiliki bangsa-bangsa lain. Semangat ini
merupakan warisan utama dari tradisi Samurai – para pejuang yang
menjadi pendahulu mereka. Mereka berjuang demi kehormatan bangsa dan
Kaisar, kalau perlu sampai menyerahkan nyawa.
Bushido adalah buah keyakinan, dan yang namanya keyakinan memang
sukar dinalar. Itu sebab, hanya kesima dan guman tak masuk akal saja
yang muncul jika kita ingin memahami keyakinan yang mendasari keberanian
untuk mengorbankan nyawa itu. Ketika semangat kamikaze sudah merasuk ke
dalam jiwa, tindakan mereka seolah tak lagi masuk akal.
Semangat bushido tumbuh, hidup dan dipelihara di lingkungan Samurai –
kelompok pejuang kelas menengah-atas yang rela mengorbankankan nyawa
demi mempertahankan budaya dan kekuasaan Kaisar. Bagi mereka, Kaisar
adalah titisan Dewa Matahari yang harus dijaga keberadaannya. Mereka
akan berjuang habis-habisan dengan seluruh skill dalam berlaga. Meski
kaum Samurai hanya hidup antara tahun 905 hingga pengujung abad ke-12,
semangatnya masih tertanam dalam sanubari kebanyakan orang Jepang,
hingga sekarang.
Selain didasari semangat Bushido, keberanian mengorbankan nyawa juga
dilandasi sentimen nasionalisme akibat ketaatan yang amat tinggi
terhadap Shinto – agama yang dianut hampir seluruh orang Jepang. Shinto
juga menanamkan pegangan hidup agar menaruh hormat kepada negara dan
Kaisar. Lewat Shinto mereka menyakini, bahwa dengan mengorbankan nyawa,
roh akan menjadi “eirei” atau penjaga negara.
Nama pasukan kamikaze yang gugur di medan tugas akan diabadikan di
Kuil Yasukuni. Penganut Shinto yang fanatik akan merasa terhormat jika
namanya diabadikan di kuil ini. to karena Yasukuni merupakan
satu-satunya kuil di Jepang yang tin dikunjungi Kaisar. Kaisar an
mengunjunginya dua kali lam setahun. Penderitaan an pengorbanan mereka
akan seta-merta terbayar setelah Sang n,Dewa Matahari menyamarldpa dan
penghargaan khu,atau tidak, keyakinan tertanam sejak dini, dalam benak
orang-orang Jepang.
Meski begitu, toh ada juga sekolompok orang Jepang yang memandang keyakinan itu amat berlebihan atau mengada-ada. Tsuneo Watanabe Redaksi harian Yomiuri Shimbun,
misalnya, menganggap bahwa cerita tentang pilot-pilot muda yang mau
melakukan serangan kamikaze dengan gagah be rani dan bahagia
melakukannya sebagai bohong belaka. Mereka lebih meyakini semua itu
dilakukan dengan keterpaksaan. Mereka adalah pemuda Jepang yang tersesat
di “rumah pembantaian”.
“Mereka tertunduk, sebagian tak sanggup berdiri, sehingga harus
dipaksa masuk ke dalam kokpit,” ungkap Watanabe, mengisahkan penderitaan
pilot-pilot muda yang direkrut masuk ke dalam kesatuan udara kamikaze.
Saburo Sakai, salah satu aces kenamaan Jepang dari masa Perang
Pasifik, bahkan termasuk orang yang memandang miris pasukan ini.
Terlebih karena sebagian dari pilot-pilot muda itu adalah murid-muridnya
sendiri. Ia tak habis pikir, mengapa pimpinan Tentara Jepang sampai
membentuk pasukan bunuh diri.
Di mata Saburo Sakai yang tutup usia pada tahun 2000 akibat serangan
jantung, kamikaze adalah blunder tentara Jepang. Hingga di pungujung
usianya, dia mengaku kecewa dan masih sering membayangkan wajah
murid-muridnya yang gugur dengan cara yang konyol itu. “Pimpinan Tentara
Jepang telah berbohong bahwa para pilot kamikaze telah menyerahkan diri
secara sukarela. Mereka berbohong.” Menurutnya, kamikaze memang bisa
digunakan sebagai serangan kejut, dan ini memang merupakan salah satu
taktik perang. Namun taktik seperti ini hanya efektifjika dilakukan
sekali, dua kali, atau tiga kali. Tetapi jika dilakukan sampai sepuluh
bulan, kamikaze sudah sangat berlebihan. Tak akan ada artinya lagi.
Kaisar Hirohito sebenarnya hams menghentikan serangan ini.
Apa pun itu, meski akhirnya ditentang sekali pun, kamikaze tetap
menjadi legenda yang selalu hidup. Yang tak pernah terlupakan, meski
lawan yang diahadapi adalah negara superhebat yang memiliki berbagai
keunggulan dan tak pernah habis diceritakan.
by.http://sejarahperang.wordpress.com/2011/01/08/kamikaze-sebagai-sebuah-kehormatan/
0 komentar:
Posting Komentar